Pulpen dan Pensil
Alkisah, di sebuah Negara Kertas, yang memiliki dua
kota besar yang saling berdampingan, yakni kota yang bernama Kota Pulpen dan
Kota Pensil. Kota pulpen adalah kota dimana semua dapat diwujudkan dengan
pulpen. Sedang kota pensil adalah kota dimana semua dapat diwujudkan dengan
pensil. Hanya dengan menggambar menggunakan pulpen atau pensil tersebut mereka
dapat membangun gedung-gedung, membangun jembatan, membuat kendaraan, maupun
membuat makanan yang akan mereka makan. Semua terbuat dari pulpen atau pensil
yang mereka produksi sendiri. Hanya di Negara kertas inilah semua itu dapat
terjadi.
Sayangnya, ada perbedaan di kedua kota tersebut. Kota
Pensil adalah kota yang sangat rapi, nyaman, dan bersih. Semua bangunannya
terlihat indah. Penduduk yang tinggal di Kota Pensil selalu menyenangkan.
Berbeda halnya dengan Kota Pulpen, disana sangat kotor, banyak sekali
coret-coretan yang tidak enak dilihat tersebar di jalanan. Bangunan-bangunannya
tidak terstruktur rapi. Setiap hari selalu bertambah coretan namun tak
dihilangkan. Ya, perbedaan tersebut disebabkan Kota Pulpen tak memiliki alat
pembersih, sedangkan Kota Pensil memilikinya. Kota Pulpen tidak mengetahui
bahwa Kota Pensil memiliki sistem kebersihan yang sangat dijaga.
Suatu hari seorang pemuda, bernama Tinta, dari Kota
Pulpen ingin berpetualang ke Kota seberang Kota Pensil. Tinta sedang
memperjuangkan bagaimanapun caranya, ia sangat ingin kota Pulpen tidak kotor
lagi. Ia ingin mencari tahu, perihal Kota Pensil yang terlihat aman, damai, dan
tentram, yang tidak bisa ia dapatkan di Kotanya. Tinta pergi menyusuri
penyebrangan jalur sungai untuk dapat sampai di Kota Pensil.
Setelah setengah hari ia menyebrang, akhirnya ia tiba
di tepi sungai. Setelah itu, ia harus berjalan dulu menyusuri pohon-pohon hutan
yang nantinya akan mengantarkannya ke Kota Pensil. Saat ia sudah keluar dari
hutan, ia tengah melihat gedung-gedung megah nan indah. Bentuk ukirannya
bangunannya megah.
Dan benar dugaannya, kota pensil ini rapi dan bersih.
Orang-orangnya terlihat ramah-ramah. Tinta mulai berjalan memasuki kota,
berkeliling dan melihat-lihat. Ia ingin tahu apa rahasianya, mengapa kota ini
sangat bersih. Setelah lama berjalan, ia belum juga menemukan jawabannya, ia
melihat di Kota ini sebenarnya sama saja dengan kehidupan di Kotanya.
Karena
sudah terlalu lama berjalan, ia pun mulai merasa lapar, namun ia hanya punya
pulpen untuk membuat makanan. Sementara ia berada di Kota lain, kota pensil,
dimana untuk membuat makanannya harus dengan pensil.
“Hai paman. Bisakah kamu membuatkan aku sebuah
hamburger? Aku ingin sekali makan hamburger namun aku tak bisa membuatnya.”,
tiba-tiba datang anak kecil menghampirinya dan berbicara sambil menarik-narik
bajunya.
Namun ini sebuah kebetulan sekali, karena Tinta bisa
meminjam pensil pada anak ini. “Siapa namamu?”, Tanya Tinta pada anak kecil
itu.
“Isne. Paman?”
“Namaku Tinta. Boleh aku pinjam pensil mu. Dan aku
akan membuatkan makanan yang kamu inginkan. Aku ini pintar menggambar lho.”,
rayu Tinta.
Isne, si anak kecil itu pun langsung memberikan
pensilnya, “ini, buatkan aku yang besar!”. Tinta langsung membuatkan makanan
hamburger satu untuk Isne dan satu untuk
dirinya.
Setelah merasa kenyang, Tinta mengembalikan lagi
pensil itu pada Isne dan mengucapkan terima kasih. “Paman mau kemana?”, Tanya
Isne yang keheranan melihat seseorang yang baginya terlihat sangat asing.
“Aku sedang mempelajari tentang Kota Pensil. Mengapa
di Kota ini terlihat sangat rapi dan bersih. Sangat berbeda di tempat
tinggalku.”, terang Tinta pada Isne.
“memang Paman dari mana?”, Tanya Isne yang masih
terheran-heran.
“Dari Kota Pulpen Isne.”
“Owh, aku pernah mendengarnya. Hmm, kalau Paman mau
mempelajari Kota ini lebih baik Paman pergi ke Perpus Kota saja. Disana lengkap
mengenai sejarah Kota ini. Aku sering kesana melihat berbagai banyak hal.
Termasuk Kota Paman. Kota Pulpen. Memang sangat berbeda dengan Kota Pensil.”
“Wow, kau ternyata anak yang begitu cerdas. Bagaimana
aku bisa kesana?” Tanya Paman berapi-api.
“Lebih baik aku langsung mengantarkanmu. Ayo ikuti
aku.”, Isne langsung menarik lengan Paman dan mengajaknya berlari menyusuri
jalanan-jalanan kecil diantara bangunan-bangunan tinggi.
Setelah melewati berbagai kelokan jalanan, akhirnya
mereka tiba di depan gedung tinggi nan megah seperti kerajaan di negeri-negeri
dongeng. Tinta langsung melesat cepat memasuki gedung Perpustakaan Kota Pensil
itu. Ia menelusuri lemari demi lemari, menemukan apa yang ingin ia cari.
Hingga
akhirnya ia menemukan sebuah judul buku yaitu “Kebersihan Penting!”.
Tinta membuka dan membaca perlahan di setiap lembar
buku itu. Halaman pertama dari buku tersebut ternyata memberitakan mengenai
sebab Kota Pensil sangat bersih, seperti ini artikelnya.
Kebersihan di
Kota Pensil sangat terjaga, karena di sana ada sebuah system yakni bernama
Penghapus, sehingga setiap ada coretan yang sudah tak berguna maka akan segera
terhapus, menghilang begitu saja. Sedangkan di Kota Pulpen belum tersedia alat
pembersih, oleh karenanya kotoran coretan bertumbuk disana.
Lalu Tinta membuka lembar selanjutnya berharap
menemukan cara untuk menemukan alat pembersih pulpen.
Kebersihan di
Kota Pensil adalah karena di sana ada sebuah system yakni bernama Penghapus,
sehingga setiap ada coretan yang sudah tak berguna maka akan segera terhapus,
menghilang begitu saja. Penghapus ini sudah tersedia di sudut-sudut perkotaan
sehingga lebih mudah didapatkan begitu saja. Penghapus ini juga bisa secara
otomatis mendeteksi kotoran yang ada di sekililingnya, dan langsung
membersihkannya.
Sedangkan
untuk Kebersihan di Kota Pulpen ini sangat sulit terjaga akibat peralatan
kebersihan yang tidak dikembangkan. Sebenarnya ada sebuah cara untuk
menghilangkan Pulpen yaitu menggunakan tanaman Tipex. Tanaman Tipex ini
tersebar di sebuah rawa yang berwarna biru yang letaknya di perbatasan antara
Kota Pulpen dan Kota Pensil. Tanaman Tipex ini mampu, menghilangkan jejak coretan
yang berasal dari coretan pulpen. Banyak yang tidak tahu tentang teori ini,
karena tidak ada yang mencari tahu. Kota Pulpen lebih menyepelekan ilmu-ilmu
yang ada. Sedangkan Kota Pensil selalu memperbarui dan menjaga ilmu-ilmu yang
ada. Oleh sebab itu Kota Pensil lebih maju dibandingkan Kota Pulpen.
Tinta mengangguk-anggukan kepalanya petanda dia
mengerti akan apa yang ia baca. Tinta menutup bukunya dan berkata pada Isne,”
Lalu apa kamu tahu dimana rawa-rawa untuk mencari tanaman Tipex?”.
Isne menggelengkan kepalanya. Isne memang masih kecil,
ia pasti belum pernah menjelajah terlalu jauh seluruh sudut kota. Tinta
mengetuk-ngetuk jarinya, tanda ia sedang berfikir. Perbatasan antara Kota
Pulpen dan Kota Pensil sangat luas, ia harus bisa menemukan tepatnya letak rawa
biru itu.
Isne menjentikkan jarinya dan lalu berteriak,”Aku
tahu!”.
Tinta menengok ke arah Isne keheranan. “Kita cari di
peta, disana pasti ada letak tepatnya rawa biru itu paman.”, jelas Isne. Tinta
langsung bangun dari tempat duduknya dan mulai menyusuri lemari mencari peta
Negara Kertas.
“Yes, ketemu Isne!”, teriak Tinta kegirangan menemukan
Peta Negara. Ia langsung membuka peta tersebut mencari keberadaan rawa biru.
Dan benar sesuai dugaan Isne, ada rawa biru di perbatasan antara Kota Pulpen
dan Kota Pensil, dan letak keberadaannya di paling ujung sebelah utara.
Dengan bersemangat Tinta memulai kembali
petualangannya. Ia harus kembali menyusuri sungai yang ada di pinggir hutan,
perbatasan antara Kota Pensil dan Kota Pulpen. Pastilah Rawa Biru tersebut ada
di paling ujungnya. Ia harus mempersiapkan perbekalan yang cukup karena
perjalanannya pasti tidaklah mudah. Belum pernah ada yang kesana. Sehingga ia
juga tidak bisa memperkirakan akan sampai berapa lama untuk tiba di tujuan itu.
sebelum Isne berpamit untuk pulang ke rumah, Isne meminjamkan pensil kepada
Tinta supaya dapat membuat bekal untuk makan selama perjalanan. Sebenarnya Isne
ingin sekali ikut, namun ia tidak boleh pergi terlalu lama karena orangtuanya
pasti akan khawatir mencarinya. Pertemuan Isne dan Tinta berakhir di depan
perpustakaan Kota Pensil. Tinta sangat berterimakasih sekali kepada Isne, anak
kecil yang cerdas dan baik hati.
Tinta mulai berjalan kembali menuju titik awal ia tiba
di kota Pensil. Ia merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Isne sehingga ia
bisa mendapat info secepat yang tak ia duga.
Saat sudah sampai di perbatasan, di tengah penelusuran
mencari rawa biru ia bertemu seorang kakek tua. Kakek itu sedang berjalan
memunguti sesuatu yang ada di rumput. Ia pun menyapa kakek itu,
“Halo Kek.”
Kakek menengok ke arahnya. Lalu terdiam masih melihat
dengan seksama dirinya.
Lalu Kakek kembali memunguti yang ada di rumput. Tinta
merasa heran dengan apa yang sedang dilakukan si Kakek.
“Kakek sedang apa?”, Tinta mencoba bertanya.
“Saya Seja.”
“Kakek Seja sedang apa.” Tinta masih mencoba bertanya
“Bercocok tanam. Kamu siapa?” Kakek tidak suka berbasa-basi.
“Saya Tinta kek.” Tinta berusaha bertingkah sesopan
mungkin.
“Sedang apa?”, sekarang giliran Kakek yang penasaran
dengan Tinta.
“Kalau saya ingin ke Rawa Biru.”
Kakek mengeryitkan keningnya lalu menoleh pada Tinta.
“Saya ingin mencari tanaman Tipex kek, saya dari kota
Pulpen dan saya butuh tanaman itu. Saya itu…” masih ingin Tinta menjelaskan
supaya kakek Seja mengerti apa yang sedang ia rasakan namun kakek Seja memotong
ceritanya.
“Oh jadi kamu dari Pulpen. Akhirnya ada juga yang mau
mengurusi kota itu?”
Tinta bertambah heran, sebenarnya siapa gerangan kakek
ini.
“Kamu penasaran sama saya ya?” Kakek Seja tersenyum
tipis.
Tinta mengangguk, mengiyakan.
“Saya itu mantan polisi di Kota Pulpen. Tapi saya
pergi dari sana karena saya tidak betah tinggal di tempat seperti itu. akhirnya
saya kesini saja.” Kakek Seja menghela nafas lalu duduk santai bersandar di
batang pohon dekat ia memungut.
Tinta masih mendengarkan dengan seksama.
“Kemudian saya jatuh cinta pada hutan ini sehingga
saya tidak kembali ke kota pulpen. Di sini saya bisa menemui banyak jenis
tanaman. Hobbi saya memang bercocok tanam. Saya bisa belajar banyak tanaman
disini.”
“Oh ya? Berarti Kakek tau dong tanaman Tipex.”
“tentu saja.”
“dimana dia kek?”
“Aku akan memberitahumu tetapi dengan syarat.”
“Apa syaratnya kek?”
“Kamu harus berlatih dulu bercocok tanam sampai mahir.
Baru kuberitahu kamu letak tanaman itu.”
Dengan berat hati, Tinta mengikuti apa yang diinginkan
kakek. Ia memulai belajar dari mengambil bibit tanaman baru, menanam, memupuk,
hingga tanaman bertumbuh dengan baik.
Setiap sedang mengajari Tinta, Kakek selalu menitipkan
pesan, “Jangan pernah merusak hutan ini. Ambil tanaman secukupnya untuk kamu
bawa pulang. Sisanya kamu pelihara disana dengan baik. Tanaman itu langka jika
tidak dirawat maka tidak akan ada lagi yang tersisa. Bisa musnah nanti Negara itu
kalau tanaman ini musnah.”
Tinta mengangguk-angguk mantap setiap Kakek mengulang
kembali pesan tersebut. Dirinya sadar memang penting untuk belajar mengembangbiakkan
tanaman. Tanaman juga makhluk hidup yang bisa mati kapan pun. Namun dengan
mempelajari ini maka ia tidak takut untuk kehabisan stok.
Setelah beberapa hari ia mempelajari semua itu, ia
mendapatkan izin kelulusannya. Kakek akhirnya memberitahu tanaman itu berada.
“Kamu benar-benar ingin mencarinya?”
“tentu saja kek, aku pun tak betah jika kota Pulpen
masih seperti itu.”
“Sayangnya Rawa biru itu sudah tidak ada. Kamu mau
mencari bagaimanapun juga tidak akan bertemu.”
“Apa kek? Bagaimana mungkin?” Tinta kaget mendengar
penjelasan Kakek Seja.
“Sabar dulu. Belum juga selesai bicara.” Kakek Seja
mendengus kesal.
“Maaf kek saya kelepasan.”
“Terakhir rawa itu tiba tiba menjadi rata dengan tanah
akibat ada longsor dari tebing perbatasan di kota Pensil. Semuanya dilahap
tanah itu. Tetapi tanaman Tipex masih ada beberapa yang selamat. Makadari itu
kamu ambil secukupnya saja, sisanya biarlah ia tumbuh alami disini. Tanaman itu
indah dari yang paling indah. Warna bunganya putih. Kamu pasti akan langsung
mengenalinya. Jalan saja kamu lurus ke arah utara ini. Kamu pasti akan
menemukan ujung hutan. Carilah kesana.” Setelah Kakek Seja menjelaskan, Tinta
bergegas pamit untuk berangkat menjelajah. Tinta sangat berterimakasih kepada
Kakek Seja atas pembelajaran dan petunjuk yang sudah diberikan.
“Aku sangat senang akhirnya ada juga yang berjuang
untuk memperbaiki kota itu.” Kakek Seja melanjutkan kata-katanya sembari Tinta
hendak melangkah keluar dari kawasan tempat tinggal Kakek.
“kenapa kakek tidak pulang kembali? Padahal kakek bisa
membantu.” Tinta bertanya untuk yang terakhir kalinya.
“Kakek sudah jatuh cinta pada tempat ini, kakek pun
sudah lelah untuk kembali pulang. Yang bisa kakek lakukan hanyalah belajar
lebih banyak dan berharap kelak ada yang kemari dan belajar, maka kakek siap
untuk mengajarinya dengan cepat dan tepat. Biarlah yang muda, layaknya kamu
yang akan kembali pulang dan membersihkan segala yang kotor itu.” Kakek Seja
tersenyum bahagia.
“saya sangat berterimakasih kek.”
Kini Tinta mengerti, perjuangan kakek seja tidaklah
berdampak langsung, tetapi tanpa adanya kakek Seja maka ia tidak akan bisa
mewujudkan kebersihan kota itu. mungkin ia hanya pulang membawa seonggok
tanaman yang tak bisa ia gunakan.
Sesaat perjalanan dari tempat kakek Seja, Tinta berhasil menemukannya.
Rupanya tanaman Tipex tidak begitu jauh dari lokasi ia belajar bercocok tanam.
Ia
mengambil seperti yang sudah diajarkan kakek Seja, ambil sampai ke akar dan
secukupnya saja. Selanjutnya ia bisa mengembangbiakkan di rumah. Sehingga hutan
ini masih tetap terjaga dan tidak kehilangan keseimbangannya.
Setelah
merasa cukup, ia kembali melacak arah lewat bayang-bayang matahari. Tinta menuju
pulang ke rumah, ke Kota Pulpen tercinta.
Perjalanan
pulang terasa lebih cepat dibandingkan ketika ia berangkat, mungkin karena
Tinta sangat bahagia. Tinta mendapatkan apa yang ia inginkan. Tinta tak merasa
lelah sama sekali karena begitu banyak hal yang ia temui dari perjalanan ini.
Sesampainya di rumah, ia langsung menanam tanaman Tipex dengan hati-hati. Ia
tak mau, tanamannya gagal tumbuh. Jika tanaman ini sudah tumbuh baik dalam
perawatannya, ia akan menunjukkan ke Bapak Walikota, supaya bersegera untuk
mencanangkan pergerakan penanaman bibit tanaman Tipex yang akan ia siapkan ini.
Setelah
seminggu berlalu, tanaman Tipex yang ia rawat mulai berbuah. Buah-buah kecil
inilah nanti yang akan menjadi bibit yang ingin ia sebar ke pelosok-pelosok
daerah kota Pulpen. Tinta bersiap-siap untuk menghadap walikota untuk
menyampaikan semua ini.
Tinta
telah sampai di kantor Walikota Pulpen. Tepatnya sangat luas dan megah. Ia
meminta izin masuk kepada penjaga. Setelah penjaga menanyakan maksud dan tujuan
serta pemeriksaan ketat akhirnya Tinta diperizinkan untuk menemui Bapak
Walikota.
Bapak
Walikota mendengarkan dengan antusias tentang tanaman Tipex yang sudah
disiapkan Tinta. Semenjak itu, Kota Pulpen memulai hari-harinya dengan
peraturan sistem kebersihan super ketat. Tanaman tipex diletakkan di setiap
sudut ruang. Kotoran-kotoran yang ada di kota, mulai dibersihkan. Kota Pulpen
mulai dirombak total.
Akhirnya
Tinta dapat mewujudkan keinginannya yakni kebersihan di Kota Pulpen. Kota
Pulpen sudah sangat rapi dan bersih. Untuk itu, sudah sepantasnya Bapak
Walikota memberikan penghargaan kepada Tinta atas prestasinya mewujudkan kota
yang bersih dan indah.
Tinta
mendapatkan penghargaan Kebersihan Kota. Dan ia mendapat julukan Bapak
Kebersihan di Kota Pulpen. Semua itu berkat dari kerja kerasnya, dan dengan
bantuan-bantuan orang yang ia temui sepanjang perjalanan perjuangannya. Ia bisa
mewujudkan keinginannya.
-milik_naru, 8/3/2019-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
(: