Ageng Pramudayu
Seorang wanita cantik yang lahir di tengah
hutan. Keluarganya sangatlah sederhana. Ia tinggal bersama ayah dan ibunya.
Hanya mereka bertiga di tengah hutan. Untuk memenuhi kebutuhan mereka biasanya
menanam apa yang bisa dimakan. Seperti umbi umbian atau sayur yang tumbuh di
dalam hutan. Terkadang ayahanda pergi sesekali ke luar untuk mencari kebutuhan
lain. Ayahnya tak mungkin bisa membeli, biasanya jika ingin keluar maka mereka
akan membuat barang yang bisa digunakan orang lain sehingga laku dijual. Lalu
ayah akan barter dengan barang lain.
Ageng tak pernah sekalipun keluar dari hutan itu. Ia dan ibunya selalu bersama sama di rumah atau jika pergi hanyalah sekadar berkebun di samping rumah.
Setiap malam disaat ayah dan ibunya telah terlelap kelelahan Ageng akan naik ke atap rumah dimana di atap tersebut Ageng bisa menatap puas bintang-bintang yang ramai di langit. Ageng menatap dengan penuh kehampaan. Menghitung hitung untuk menghilangkan perasaan kosong itu. Terlalu banyak yang mampu ia hitung, semakin membuatnya mempertanyakan mengapa ia tidak seperti bintang yang memiliki banyak jenisnya. Bintang tak sendiri. Berbeda dengannya yang cuma bisa lihat ibu dan ayahnya, cuma ada tiga. Seperti tidak ada lagi manusia lain yang bisa ia temui.
Kelap kelip bintang adalah senandung baginya. Biasanya Ageng akan berdiri menatap fokus ke langit lalu bermain suara mengikuti kerlipan bintang.
Dengan senandung yang ia buat tubuhnya pun tak bisa menguasai untuk tetap diam. Dari gerakan tangan ia mencoba untuk mencari gerakan ternyaman sesuai seperti nada yang terhentak dibuatnya. Kaki nya pun tergoda untuk memposisikan seelok mungkin mengikuti irama kelap kelip bintang.
Tanpa sadar ia menggerakan seluruh anggota badannya. Angin menerpa semakin mendukung menarikan rambutnya. Nada nada alam yang bersatu dengan keparasan seorang wanita Ageng Pramudayu.
Ia sangat anggun. Bahkan jangkrik pun jatuh cinta.
Semakin ia merasa kosong. Semakin ia bertanya tanya tentang perasaan hampanya. Semakin ia keluarkan kedalam gerakan kaki, tangan, kepala, dan lenggokan tubuhnya.
Ia menari di bawah langit..
Ia mempelajari sendiri berbagai gerakan.
Setiap malam ia selalu bergerak mengikut irama kelipan bintang. Ia bisa hafal setiap ada irama yang sama.
Hanya ia sendirilah yang mampu merasakan akan kekuatan gerakan ini.
Ageng tak pernah sekalipun keluar dari hutan itu. Ia dan ibunya selalu bersama sama di rumah atau jika pergi hanyalah sekadar berkebun di samping rumah.
Setiap malam disaat ayah dan ibunya telah terlelap kelelahan Ageng akan naik ke atap rumah dimana di atap tersebut Ageng bisa menatap puas bintang-bintang yang ramai di langit. Ageng menatap dengan penuh kehampaan. Menghitung hitung untuk menghilangkan perasaan kosong itu. Terlalu banyak yang mampu ia hitung, semakin membuatnya mempertanyakan mengapa ia tidak seperti bintang yang memiliki banyak jenisnya. Bintang tak sendiri. Berbeda dengannya yang cuma bisa lihat ibu dan ayahnya, cuma ada tiga. Seperti tidak ada lagi manusia lain yang bisa ia temui.
Kelap kelip bintang adalah senandung baginya. Biasanya Ageng akan berdiri menatap fokus ke langit lalu bermain suara mengikuti kerlipan bintang.
Dengan senandung yang ia buat tubuhnya pun tak bisa menguasai untuk tetap diam. Dari gerakan tangan ia mencoba untuk mencari gerakan ternyaman sesuai seperti nada yang terhentak dibuatnya. Kaki nya pun tergoda untuk memposisikan seelok mungkin mengikuti irama kelap kelip bintang.
Tanpa sadar ia menggerakan seluruh anggota badannya. Angin menerpa semakin mendukung menarikan rambutnya. Nada nada alam yang bersatu dengan keparasan seorang wanita Ageng Pramudayu.
Ia sangat anggun. Bahkan jangkrik pun jatuh cinta.
Semakin ia merasa kosong. Semakin ia bertanya tanya tentang perasaan hampanya. Semakin ia keluarkan kedalam gerakan kaki, tangan, kepala, dan lenggokan tubuhnya.
Ia menari di bawah langit..
Ia mempelajari sendiri berbagai gerakan.
Setiap malam ia selalu bergerak mengikut irama kelipan bintang. Ia bisa hafal setiap ada irama yang sama.
Hanya ia sendirilah yang mampu merasakan akan kekuatan gerakan ini.
Suatu hari ayah kembali dari luar
hutan membawa berbagai macam perlengkapan masakan. Berbagai bawang dan bumbu
dapur yang aromanya sangat menyegarkan hidung. Ageng membantu membereskan apa
yang sudah dibawa ayahnya tersebut. Saat sedang membongkar bungkusan, Ageng
mendapati sebuah lembaran di dalam kantong itu. Ia membaca dalam hati.
SAYEMBARA
Untuk merayakan hari ulang tahun Ratu,
maka kerajaan mengadakan perlombaan.
Bagi yang mampu menyenangkan Ratu,
maka akan mendapatkan hadiah terbaik dari Ratu
Ageng sering
diceritakan oleh orangtuanya bahwa mereka tinggal dibawah kekuasaan Raja dan
Ratu. Namun itu semua hanya lewat cerita tanpa pernah ia melihatnya. Ibu dan
ayahnya mengatakan bahwa mereka orang tidak berpunya, dan tidak memiliki
kemampuan apapun, namun akan kebaikan Raja dan Ratu membawa ayah dan ibunya
memiliki tempat dan tinggal di dalam hutan. Tanpa harus membayarnya.
Saat Ageng masih
terpana melihat dengan lekat kertas yang ia pegang, ayahnya
mengagetkannya,”Ratu sudah mau bertambah umur lagi saja.”
“iya ini kan sudah
berganti tahun. Anak kita pun sudah sebesar ini.”, ibunda mendekat dan membelai
rambut pekat Ageng.
“Yah, bisakah kita
kesana menemui Ratu?”, Ageng sontak bertanya. Mempertanyakan yang selama ini
menjadi rasa penasaaran ia. Mungkin kali ini adalah kesempatannya.
Ayahnya hanya
menggeleng tertunduk.
‘Kenapa”, kening
Ageng berkerut. “bukankah Ratu orang yang baik seperti yang sering ibu
ceritakan?”
“Justru karena beliau
terlalu baik. Kita kesana tak bisa memberikan apa-apa Pramudayu.”
“Aku bisa.” Mata
Ageng berbinar, mungkin kali ini bintang kalah bersinar.
Ayah dan ibunya
bingung. “Ayah dan ibu ikut aku nanti malam.”, Ageng berkata mantap.
Bintang-bintang mulai bermunculan, Ageng
mengajak ayah dan ibunya ikut ke atas atap. Mempersilahkan keduanya duduk rapi
di tepi.
Sedang Ageng menatap,
mencoba menghitung-hitung, mengabsen bintang yang biasa ia temui. Menoleh
sesaat ke arah ayah dan ibunya. Memastikan mereka menatap ke Ageng. Ageng ingin
menunjukkan dirinya. Ayah dan ibunya memperhatikan dengan penuh tanda tanya.
Ageng menjetikan
jarinya, menatap ke langit lagi, mulai bersenandung mengikuti kelap kelip bintang.
Seperti biasa, ia sudah hafal dan terlatih melenggokan kaki di atas atap. Ia
mulai mengikuti arus cahaya bulan, ia mulai menghempaskan tubuhnya di udara, di
keributan angin yang membelai rambutnya, dan merasakan dengkuran jangkrik yang
ikut menikmati gerakannya.
Ia merasakan ayah dan
ibunya menatap terpana kepadanya, ia tersenyum, Ageng merasa berhasil mampu
mengajak rasa ayah dan ibunya pun mulai ikut menari bersamanya.
Sudah merasa lelah
Ageng mulai memperlambat geraknya, dan menutupnya dengan melambai ke langit.
Ayahnya langsung
spontan berdiri, bertepuk tangan, disusul ibunya.
“kita besok ke tempat
Ratu.”
Ageng tersenyum,
dirinya sukses membuat orangtuanya percaya, dia mampu memberikan hiburan
terbaik untuk Ratu.
Pagi hari ayah ibu
dan ageng berangkat menuju singgasana sang Ratu.
Baru kali itulah,
Ageng merasakan perjalanan jauh. Kakinya sudah tidak keruan rasanya. Namun hatinya
yang berdegub kencang, membuat ia lupa kalau kakinya sedang berontak ingin
berhenti. Setelah keluar dari hutan yang penuh dengan pepohonan, akhirnya Ageng
melihat rumah lain yang mirip dengan rumahnya, hanya saja rumah ini ada banyak.
Seperti bintang yang ia lihat setiap malam, yang memiliki kawan. Ia juga
melihat banyak manusia yang seperti dirinya, ayahnya maupun ibunya. Ia terpana.
Sejenak ayahnya
mengajak ia dan ibunya mencari tempat berteduh untuk sekadar minum dan sedikit
makan mengisi tenaga. Riuh suara yang tidak pernah Ageng dengar, mulai
menggelitik kehampaannya selama ini. Dalam hatinya ia berjanji akan melakukan
yang terbaik. Jika ia berhasil membuat hiburan terbaik untuk ratu pastilah Ratu
mengijinkan ia dan keluarganya tinggal di kerajaan. Tak di hutan lagi yang sepi.
Sesampainya, kondisi
kerajaan dipenuhi penduduk yang ingin menunjukkan hiburan kepada Ratu.
Banyak sekali yang
membawa hadiah untuk Ratu. Dan masih ada yang sedang menunjukkan eksistensinya
di depan Ratu. Ada yang menyanyikan lagu untuk Ratu. Ada yang sekadar ingin
bersalaman. Ada yang berteriak mengucapkan ulangtaun. Ageng merasa kesulitan
untuk ikut berdesakan. Beruntung ia bersama ayahnya, ayahnya menjaga dia dan
ibunya dengan baik. Akhirnya ageng bisa ikut mengantri di tempat antrian
pertunjukkan hiburan. Ia terpisah dengan ayah ibunya, karena ia akan menari
sendiri nanti. Ayah ibunya akan mencari tempat untuk menonton
dari dekat.
Ageng merasa sangat
grogi. Hingga tiba ia diujung baris terdepan menuju panggung di hadapan ratu.
Tiba di panggung, ia memberikan salam senyuman manisnya.
Ratu dengan
keramahannya meminta Ageng untuk memperlihatkan bakatnya tersebut. Ageng
mengiyakan dan memulai memejamkan mata, ia mencoba menghadirkan bintang-bintang
di dalam fikirannya. Memulai menghitung satu demi satu kelipannya. Dan memulai
gerakan seperti biasa ia lakukan.
Ia berharap,
kehampaan dan kesepian yang sudah ia rasakan bertahun-tahun mampu menggugah
setiap hati dengan gerakannya. Ia hanya ingin menyampaikan apa yang dirasakan
selama ini. Dan semua itu ia bisa melepasnya. Ia mulai merasakan keberadaan
ayah dan ibunya yang sedang menontonnya, mulai ikut menikmati gerakannya yang
bersenandung dengan alam sekitar. Ratu yang sedari tadi hanya menatap kosong
setiap para penampil, kali ini ikut merasakan kehampaan itu. Ratu pun berdiri
menatap Ageng.
Ageng berhasil.
Sang Ratu merasa
puas. Dan Ageng naik tahta sebagai pegawai kerajaan. Sang Ratu pun tak segan menitahkan
supaya Ageng bisa melatih anak anak bangsawan. Ageng pun merasa senang dan
merasa sangat bahagia. Kehampaannya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Setidaknya
ia tak menyesal pernah tinggal di hutan yang gelap dan sepi itu. Nyatanya ia
mampu, ia memiliki bakat yang bahkan Ratu pun suka.
-milik_naru, 6/3/2019-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
(: