Kamis, 07 Maret 2019

Pulpen dan Pensil

Gambar terkait



Alkisah, di sebuah Negara Kertas, yang memiliki dua kota besar yang saling berdampingan, yakni kota yang bernama Kota Pulpen dan Kota Pensil. Kota pulpen adalah kota dimana semua dapat diwujudkan dengan pulpen. Sedang kota pensil adalah kota dimana semua dapat diwujudkan dengan pensil. Hanya dengan menggambar menggunakan pulpen atau pensil tersebut mereka dapat membangun gedung-gedung, membangun jembatan, membuat kendaraan, maupun membuat makanan yang akan mereka makan. Semua terbuat dari pulpen atau pensil yang mereka produksi sendiri. Hanya di Negara kertas inilah semua itu dapat terjadi.

Sayangnya, ada perbedaan di kedua kota tersebut. Kota Pensil adalah kota yang sangat rapi, nyaman, dan bersih. Semua bangunannya terlihat indah. Penduduk yang tinggal di Kota Pensil selalu menyenangkan. Berbeda halnya dengan Kota Pulpen, disana sangat kotor, banyak sekali coret-coretan yang tidak enak dilihat tersebar di jalanan. Bangunan-bangunannya tidak terstruktur rapi. Setiap hari selalu bertambah coretan namun tak dihilangkan. Ya, perbedaan tersebut disebabkan Kota Pulpen tak memiliki alat pembersih, sedangkan Kota Pensil memilikinya. Kota Pulpen tidak mengetahui bahwa Kota Pensil memiliki sistem kebersihan yang sangat dijaga.

Suatu hari seorang pemuda, bernama Tinta, dari Kota Pulpen ingin berpetualang ke Kota seberang Kota Pensil. Tinta sedang memperjuangkan bagaimanapun caranya, ia sangat ingin kota Pulpen tidak kotor lagi. Ia ingin mencari tahu, perihal Kota Pensil yang terlihat aman, damai, dan tentram, yang tidak bisa ia dapatkan di Kotanya. Tinta pergi menyusuri penyebrangan jalur sungai untuk dapat sampai di Kota Pensil.

Setelah setengah hari ia menyebrang, akhirnya ia tiba di tepi sungai. Setelah itu, ia harus berjalan dulu menyusuri pohon-pohon hutan yang nantinya akan mengantarkannya ke Kota Pensil. Saat ia sudah keluar dari hutan, ia tengah melihat gedung-gedung megah nan indah. Bentuk ukirannya bangunannya megah. 

Dan benar dugaannya, kota pensil ini rapi dan bersih. Orang-orangnya terlihat ramah-ramah. Tinta mulai berjalan memasuki kota, berkeliling dan melihat-lihat. Ia ingin tahu apa rahasianya, mengapa kota ini sangat bersih. Setelah lama berjalan, ia belum juga menemukan jawabannya, ia melihat di Kota ini sebenarnya sama saja dengan kehidupan di Kotanya. 

Karena sudah terlalu lama berjalan, ia pun mulai merasa lapar, namun ia hanya punya pulpen untuk membuat makanan. Sementara ia berada di Kota lain, kota pensil, dimana untuk membuat makanannya harus dengan pensil.

“Hai paman. Bisakah kamu membuatkan aku sebuah hamburger? Aku ingin sekali makan hamburger namun aku tak bisa membuatnya.”, tiba-tiba datang anak kecil menghampirinya dan berbicara sambil menarik-narik bajunya.

Namun ini sebuah kebetulan sekali, karena Tinta bisa meminjam pensil pada anak ini. “Siapa namamu?”, Tanya Tinta pada anak kecil itu.

“Isne. Paman?”
“Namaku Tinta. Boleh aku pinjam pensil mu. Dan aku akan membuatkan makanan yang kamu inginkan. Aku ini pintar menggambar lho.”, rayu Tinta.

Isne, si anak kecil itu pun langsung memberikan pensilnya, “ini, buatkan aku yang besar!”. Tinta langsung membuatkan makanan hamburger satu untuk Isne dan  satu untuk dirinya.
Setelah merasa kenyang, Tinta mengembalikan lagi pensil itu pada Isne dan mengucapkan terima kasih. “Paman mau kemana?”, Tanya Isne yang keheranan melihat seseorang yang baginya terlihat sangat asing.

“Aku sedang mempelajari tentang Kota Pensil. Mengapa di Kota ini terlihat sangat rapi dan bersih. Sangat berbeda di tempat tinggalku.”, terang Tinta pada Isne.
“memang Paman dari mana?”, Tanya Isne yang masih terheran-heran.
“Dari Kota Pulpen Isne.”
“Owh, aku pernah mendengarnya. Hmm, kalau Paman mau mempelajari Kota ini lebih baik Paman pergi ke Perpus Kota saja. Disana lengkap mengenai sejarah Kota ini. Aku sering kesana melihat berbagai banyak hal. Termasuk Kota Paman. Kota Pulpen. Memang sangat berbeda dengan Kota Pensil.”

“Wow, kau ternyata anak yang begitu cerdas. Bagaimana aku bisa kesana?” Tanya Paman berapi-api.
“Lebih baik aku langsung mengantarkanmu. Ayo ikuti aku.”, Isne langsung menarik lengan Paman dan mengajaknya berlari menyusuri jalanan-jalanan kecil diantara bangunan-bangunan tinggi.

Setelah melewati berbagai kelokan jalanan, akhirnya mereka tiba di depan gedung tinggi nan megah seperti kerajaan di negeri-negeri dongeng. Tinta langsung melesat cepat memasuki gedung Perpustakaan Kota Pensil itu. Ia menelusuri lemari demi lemari, menemukan apa yang ingin ia cari. 

Hingga akhirnya ia menemukan sebuah judul buku yaitu “Kebersihan Penting!”.
Tinta membuka dan membaca perlahan di setiap lembar buku itu. Halaman pertama dari buku tersebut ternyata memberitakan mengenai sebab Kota Pensil sangat bersih, seperti ini artikelnya.

Kebersihan di Kota Pensil sangat terjaga, karena di sana ada sebuah system yakni bernama Penghapus, sehingga setiap ada coretan yang sudah tak berguna maka akan segera terhapus, menghilang begitu saja. Sedangkan di Kota Pulpen belum tersedia alat pembersih, oleh karenanya kotoran coretan bertumbuk disana.

Lalu Tinta membuka lembar selanjutnya berharap menemukan cara untuk menemukan alat pembersih pulpen.

Kebersihan di Kota Pensil adalah karena di sana ada sebuah system yakni bernama Penghapus, sehingga setiap ada coretan yang sudah tak berguna maka akan segera terhapus, menghilang begitu saja. Penghapus ini sudah tersedia di sudut-sudut perkotaan sehingga lebih mudah didapatkan begitu saja. Penghapus ini juga bisa secara otomatis mendeteksi kotoran yang ada di sekililingnya, dan langsung membersihkannya.
Sedangkan untuk Kebersihan di Kota Pulpen ini sangat sulit terjaga akibat peralatan kebersihan yang tidak dikembangkan. Sebenarnya ada sebuah cara untuk menghilangkan Pulpen yaitu menggunakan tanaman Tipex. Tanaman Tipex ini tersebar di sebuah rawa yang berwarna biru yang letaknya di perbatasan antara Kota Pulpen dan Kota Pensil. Tanaman Tipex ini mampu, menghilangkan jejak coretan yang berasal dari coretan pulpen. Banyak yang tidak tahu tentang teori ini, karena tidak ada yang mencari tahu. Kota Pulpen lebih menyepelekan ilmu-ilmu yang ada. Sedangkan Kota Pensil selalu memperbarui dan menjaga ilmu-ilmu yang ada. Oleh sebab itu Kota Pensil lebih maju dibandingkan Kota Pulpen.

Tinta mengangguk-anggukan kepalanya petanda dia mengerti akan apa yang ia baca. Tinta menutup bukunya dan berkata pada Isne,” Lalu apa kamu tahu dimana rawa-rawa untuk mencari tanaman Tipex?”.

Isne menggelengkan kepalanya. Isne memang masih kecil, ia pasti belum pernah menjelajah terlalu jauh seluruh sudut kota. Tinta mengetuk-ngetuk jarinya, tanda ia sedang berfikir. Perbatasan antara Kota Pulpen dan Kota Pensil sangat luas, ia harus bisa menemukan tepatnya letak rawa biru itu.
Isne menjentikkan jarinya dan lalu berteriak,”Aku tahu!”.

Tinta menengok ke arah Isne keheranan. “Kita cari di peta, disana pasti ada letak tepatnya rawa biru itu paman.”, jelas Isne. Tinta langsung bangun dari tempat duduknya dan mulai menyusuri lemari mencari peta Negara Kertas.

“Yes, ketemu Isne!”, teriak Tinta kegirangan menemukan Peta Negara. Ia langsung membuka peta tersebut mencari keberadaan rawa biru. Dan benar sesuai dugaan Isne, ada rawa biru di perbatasan antara Kota Pulpen dan Kota Pensil, dan letak keberadaannya di paling ujung sebelah utara.     

Dengan bersemangat Tinta memulai kembali petualangannya. Ia harus kembali menyusuri sungai yang ada di pinggir hutan, perbatasan antara Kota Pensil dan Kota Pulpen. Pastilah Rawa Biru tersebut ada di paling ujungnya. Ia harus mempersiapkan perbekalan yang cukup karena perjalanannya pasti tidaklah mudah. Belum pernah ada yang kesana. Sehingga ia juga tidak bisa memperkirakan akan sampai berapa lama untuk tiba di tujuan itu. sebelum Isne berpamit untuk pulang ke rumah, Isne meminjamkan pensil kepada Tinta supaya dapat membuat bekal untuk makan selama perjalanan. Sebenarnya Isne ingin sekali ikut, namun ia tidak boleh pergi terlalu lama karena orangtuanya pasti akan khawatir mencarinya. Pertemuan Isne dan Tinta berakhir di depan perpustakaan Kota Pensil. Tinta sangat berterimakasih sekali kepada Isne, anak kecil yang cerdas dan baik hati.

Tinta mulai berjalan kembali menuju titik awal ia tiba di kota Pensil. Ia merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Isne sehingga ia bisa mendapat info secepat yang tak ia duga.
Saat sudah sampai di perbatasan, di tengah penelusuran mencari rawa biru ia bertemu seorang kakek tua. Kakek itu sedang berjalan memunguti sesuatu yang ada di rumput. Ia pun menyapa kakek itu, 
“Halo Kek.”
Kakek menengok ke arahnya. Lalu terdiam masih melihat dengan seksama dirinya.
Lalu Kakek kembali memunguti yang ada di rumput. Tinta merasa heran dengan apa yang sedang dilakukan si Kakek.
“Kakek sedang apa?”, Tinta mencoba bertanya.
“Saya Seja.”
“Kakek Seja sedang apa.” Tinta masih mencoba bertanya
“Bercocok tanam. Kamu siapa?” Kakek tidak suka berbasa-basi.
“Saya Tinta kek.” Tinta berusaha bertingkah sesopan mungkin.
“Sedang apa?”, sekarang giliran Kakek yang penasaran dengan Tinta.
“Kalau saya ingin ke Rawa Biru.”
Kakek mengeryitkan keningnya lalu menoleh pada Tinta.
“Saya ingin mencari tanaman Tipex kek, saya dari kota Pulpen dan saya butuh tanaman itu. Saya itu…” masih ingin Tinta menjelaskan supaya kakek Seja mengerti apa yang sedang ia rasakan namun kakek Seja memotong ceritanya.
“Oh jadi kamu dari Pulpen. Akhirnya ada juga yang mau mengurusi kota itu?”
Tinta bertambah heran, sebenarnya siapa gerangan kakek ini.
“Kamu penasaran sama saya ya?” Kakek Seja tersenyum tipis.
Tinta mengangguk, mengiyakan.
“Saya itu mantan polisi di Kota Pulpen. Tapi saya pergi dari sana karena saya tidak betah tinggal di tempat seperti itu. akhirnya saya kesini saja.” Kakek Seja menghela nafas lalu duduk santai bersandar di batang pohon dekat ia memungut.
Tinta masih mendengarkan dengan seksama.
“Kemudian saya jatuh cinta pada hutan ini sehingga saya tidak kembali ke kota pulpen. Di sini saya bisa menemui banyak jenis tanaman. Hobbi saya memang bercocok tanam. Saya bisa belajar banyak tanaman disini.”
“Oh ya? Berarti Kakek tau dong tanaman Tipex.”
“tentu saja.”
“dimana dia kek?”
“Aku akan memberitahumu tetapi dengan syarat.”
“Apa syaratnya kek?”
“Kamu harus berlatih dulu bercocok tanam sampai mahir. Baru kuberitahu kamu letak tanaman itu.”
Dengan berat hati, Tinta mengikuti apa yang diinginkan kakek. Ia memulai belajar dari mengambil bibit tanaman baru, menanam, memupuk, hingga tanaman bertumbuh dengan baik.

Setiap sedang mengajari Tinta, Kakek selalu menitipkan pesan, “Jangan pernah merusak hutan ini. Ambil tanaman secukupnya untuk kamu bawa pulang. Sisanya kamu pelihara disana dengan baik. Tanaman itu langka jika tidak dirawat maka tidak akan ada lagi yang tersisa. Bisa musnah nanti Negara itu kalau tanaman ini musnah.”

Tinta mengangguk-angguk mantap setiap Kakek mengulang kembali pesan tersebut. Dirinya sadar memang penting untuk belajar mengembangbiakkan tanaman. Tanaman juga makhluk hidup yang bisa mati kapan pun. Namun dengan mempelajari ini maka ia tidak takut untuk kehabisan stok.  
Setelah beberapa hari ia mempelajari semua itu, ia mendapatkan izin kelulusannya. Kakek akhirnya memberitahu tanaman itu berada.
“Kamu benar-benar ingin mencarinya?”
“tentu saja kek, aku pun tak betah jika kota Pulpen masih seperti itu.”
“Sayangnya Rawa biru itu sudah tidak ada. Kamu mau mencari bagaimanapun juga tidak akan bertemu.”
“Apa kek? Bagaimana mungkin?” Tinta kaget mendengar penjelasan Kakek Seja.
“Sabar dulu. Belum juga selesai bicara.” Kakek Seja mendengus kesal.
“Maaf kek saya kelepasan.”
“Terakhir rawa itu tiba tiba menjadi rata dengan tanah akibat ada longsor dari tebing perbatasan di kota Pensil. Semuanya dilahap tanah itu. Tetapi tanaman Tipex masih ada beberapa yang selamat. Makadari itu kamu ambil secukupnya saja, sisanya biarlah ia tumbuh alami disini. Tanaman itu indah dari yang paling indah. Warna bunganya putih. Kamu pasti akan langsung mengenalinya. Jalan saja kamu lurus ke arah utara ini. Kamu pasti akan menemukan ujung hutan. Carilah kesana.” Setelah Kakek Seja menjelaskan, Tinta bergegas pamit untuk berangkat menjelajah. Tinta sangat berterimakasih kepada Kakek Seja atas pembelajaran dan petunjuk yang sudah diberikan.  

“Aku sangat senang akhirnya ada juga yang berjuang untuk memperbaiki kota itu.” Kakek Seja melanjutkan kata-katanya sembari Tinta hendak melangkah keluar dari kawasan tempat tinggal Kakek.
“kenapa kakek tidak pulang kembali? Padahal kakek bisa membantu.” Tinta bertanya untuk yang terakhir kalinya.
“Kakek sudah jatuh cinta pada tempat ini, kakek pun sudah lelah untuk kembali pulang. Yang bisa kakek lakukan hanyalah belajar lebih banyak dan berharap kelak ada yang kemari dan belajar, maka kakek siap untuk mengajarinya dengan cepat dan tepat. Biarlah yang muda, layaknya kamu yang akan kembali pulang dan membersihkan segala yang kotor itu.” Kakek Seja tersenyum bahagia.
“saya sangat berterimakasih kek.”
Kini Tinta mengerti, perjuangan kakek seja tidaklah berdampak langsung, tetapi tanpa adanya kakek Seja maka ia tidak akan bisa mewujudkan kebersihan kota itu. mungkin ia hanya pulang membawa seonggok tanaman yang tak bisa ia gunakan.
Sesaat perjalanan dari tempat kakek Seja, Tinta berhasil menemukannya. Rupanya tanaman Tipex tidak begitu jauh dari lokasi ia belajar bercocok tanam.

Ia mengambil seperti yang sudah diajarkan kakek Seja, ambil sampai ke akar dan secukupnya saja. Selanjutnya ia bisa mengembangbiakkan di rumah. Sehingga hutan ini masih tetap terjaga dan tidak kehilangan keseimbangannya.

Setelah merasa cukup, ia kembali melacak arah lewat bayang-bayang matahari. Tinta menuju pulang ke rumah, ke Kota Pulpen tercinta.

Perjalanan pulang terasa lebih cepat dibandingkan ketika ia berangkat, mungkin karena Tinta sangat bahagia. Tinta mendapatkan apa yang ia inginkan. Tinta tak merasa lelah sama sekali karena begitu banyak hal yang ia temui dari perjalanan ini. Sesampainya di rumah, ia langsung menanam tanaman Tipex dengan hati-hati. Ia tak mau, tanamannya gagal tumbuh. Jika tanaman ini sudah tumbuh baik dalam perawatannya, ia akan menunjukkan ke Bapak Walikota, supaya bersegera untuk mencanangkan pergerakan penanaman bibit tanaman Tipex yang akan ia siapkan ini.

Setelah seminggu berlalu, tanaman Tipex yang ia rawat mulai berbuah. Buah-buah kecil inilah nanti yang akan menjadi bibit yang ingin ia sebar ke pelosok-pelosok daerah kota Pulpen. Tinta bersiap-siap untuk menghadap walikota untuk menyampaikan semua ini.

Tinta telah sampai di kantor Walikota Pulpen. Tepatnya sangat luas dan megah. Ia meminta izin masuk kepada penjaga. Setelah penjaga menanyakan maksud dan tujuan serta pemeriksaan ketat akhirnya Tinta diperizinkan untuk menemui Bapak Walikota.

Bapak Walikota mendengarkan dengan antusias tentang tanaman Tipex yang sudah disiapkan Tinta. Semenjak itu, Kota Pulpen memulai hari-harinya dengan peraturan sistem kebersihan super ketat. Tanaman tipex diletakkan di setiap sudut ruang. Kotoran-kotoran yang ada di kota, mulai dibersihkan. Kota Pulpen mulai dirombak total.

Akhirnya Tinta dapat mewujudkan keinginannya yakni kebersihan di Kota Pulpen. Kota Pulpen sudah sangat rapi dan bersih. Untuk itu, sudah sepantasnya Bapak Walikota memberikan penghargaan kepada Tinta atas prestasinya mewujudkan kota yang bersih dan indah.

Tinta mendapatkan penghargaan Kebersihan Kota. Dan ia mendapat julukan Bapak Kebersihan di Kota Pulpen. Semua itu berkat dari kerja kerasnya, dan dengan bantuan-bantuan orang yang ia temui sepanjang perjalanan perjuangannya. Ia bisa mewujudkan keinginannya.

-milik_naru, 8/3/2019-


Selasa, 05 Maret 2019


Ageng Pramudayu

Hasil gambar untuk menari


Seorang wanita cantik yang lahir di tengah hutan. Keluarganya sangatlah sederhana. Ia tinggal bersama ayah dan ibunya. Hanya mereka bertiga di tengah hutan. Untuk memenuhi kebutuhan mereka biasanya menanam apa yang bisa dimakan. Seperti umbi umbian atau sayur yang tumbuh di dalam hutan. Terkadang ayahanda pergi sesekali ke luar untuk mencari kebutuhan lain. Ayahnya tak mungkin bisa membeli, biasanya jika ingin keluar maka mereka akan membuat barang yang bisa digunakan orang lain sehingga laku dijual. Lalu ayah akan barter dengan barang lain.
Ageng tak pernah sekalipun keluar dari hutan itu. Ia dan ibunya selalu bersama sama di rumah atau jika pergi hanyalah sekadar berkebun di samping rumah.

Setiap malam disaat ayah dan ibunya telah terlelap kelelahan Ageng akan naik ke atap rumah dimana di atap tersebut Ageng bisa menatap puas bintang-bintang yang ramai di langit. Ageng menatap dengan penuh kehampaan. Menghitung hitung untuk menghilangkan perasaan kosong itu. Terlalu banyak yang mampu ia hitung, semakin membuatnya mempertanyakan mengapa ia tidak seperti bintang yang memiliki banyak jenisnya. Bintang tak sendiri. Berbeda dengannya yang cuma bisa lihat ibu dan ayahnya, cuma ada tiga. Seperti tidak ada lagi manusia lain yang  bisa ia temui.

Kelap kelip bintang adalah senandung baginya. Biasanya Ageng akan berdiri menatap fokus ke langit lalu bermain suara mengikuti kerlipan bintang.
Dengan senandung yang ia buat tubuhnya pun tak bisa menguasai untuk tetap diam. Dari gerakan tangan ia mencoba untuk mencari gerakan ternyaman sesuai seperti nada yang terhentak dibuatnya. Kaki nya pun tergoda untuk memposisikan seelok mungkin mengikuti irama kelap kelip bintang.

Tanpa sadar ia menggerakan seluruh anggota badannya. Angin menerpa semakin mendukung menarikan rambutnya. Nada nada alam yang bersatu dengan keparasan seorang wanita Ageng Pramudayu.
Ia sangat anggun. Bahkan jangkrik pun jatuh cinta.
Semakin ia merasa kosong. Semakin ia bertanya tanya tentang perasaan hampanya. Semakin ia keluarkan kedalam gerakan kaki, tangan, kepala, dan lenggokan tubuhnya.
Ia menari di bawah langit..
Ia mempelajari sendiri berbagai gerakan. 
Setiap malam ia selalu bergerak mengikut irama kelipan bintang. Ia bisa hafal setiap ada irama yang sama.
Hanya ia sendirilah yang mampu merasakan akan kekuatan gerakan ini.

Suatu hari ayah kembali dari luar hutan membawa berbagai macam perlengkapan masakan. Berbagai bawang dan bumbu dapur yang aromanya sangat menyegarkan hidung. Ageng membantu membereskan apa yang sudah dibawa ayahnya tersebut. Saat sedang membongkar bungkusan, Ageng mendapati sebuah lembaran di dalam kantong itu. Ia membaca dalam hati.

SAYEMBARA

Untuk merayakan hari ulang tahun Ratu,
maka kerajaan mengadakan perlombaan. 
Bagi yang mampu menyenangkan Ratu,
maka akan mendapatkan hadiah terbaik dari Ratu


Ageng sering diceritakan oleh orangtuanya bahwa mereka tinggal dibawah kekuasaan Raja dan Ratu. Namun itu semua hanya lewat cerita tanpa pernah ia melihatnya. Ibu dan ayahnya mengatakan bahwa mereka orang tidak berpunya, dan tidak memiliki kemampuan apapun, namun akan kebaikan Raja dan Ratu membawa ayah dan ibunya memiliki tempat dan tinggal di dalam hutan. Tanpa harus membayarnya.

Saat Ageng masih terpana melihat dengan lekat kertas yang ia pegang, ayahnya mengagetkannya,”Ratu sudah mau bertambah umur lagi saja.”
“iya ini kan sudah berganti tahun. Anak kita pun sudah sebesar ini.”, ibunda mendekat dan membelai rambut pekat Ageng.
“Yah, bisakah kita kesana menemui Ratu?”, Ageng sontak bertanya. Mempertanyakan yang selama ini menjadi rasa penasaaran ia. Mungkin kali ini adalah kesempatannya.
Ayahnya hanya menggeleng tertunduk.
‘Kenapa”, kening Ageng berkerut. “bukankah Ratu orang yang baik seperti yang sering ibu ceritakan?”
“Justru karena beliau terlalu baik. Kita kesana tak bisa memberikan apa-apa Pramudayu.”
“Aku bisa.” Mata Ageng berbinar, mungkin kali ini bintang kalah bersinar.
Ayah dan ibunya bingung. “Ayah dan ibu ikut aku nanti malam.”, Ageng berkata mantap.

Bintang-bintang mulai bermunculan, Ageng mengajak ayah dan ibunya ikut ke atas atap. Mempersilahkan keduanya duduk rapi di tepi.
Sedang Ageng menatap, mencoba menghitung-hitung, mengabsen bintang yang biasa ia temui. Menoleh sesaat ke arah ayah dan ibunya. Memastikan mereka menatap ke Ageng. Ageng ingin menunjukkan dirinya. Ayah dan ibunya memperhatikan dengan penuh tanda tanya.
Ageng menjetikan jarinya, menatap ke langit lagi, mulai bersenandung mengikuti kelap kelip bintang. Seperti biasa, ia sudah hafal dan terlatih melenggokan kaki di atas atap. Ia mulai mengikuti arus cahaya bulan, ia mulai menghempaskan tubuhnya di udara, di keributan angin yang membelai rambutnya, dan merasakan dengkuran jangkrik yang ikut menikmati gerakannya.
Ia merasakan ayah dan ibunya menatap terpana kepadanya, ia tersenyum, Ageng merasa berhasil mampu mengajak rasa ayah dan ibunya pun mulai ikut menari bersamanya.
Sudah merasa lelah Ageng mulai memperlambat geraknya, dan menutupnya dengan melambai ke langit.

Ayahnya langsung spontan berdiri, bertepuk tangan, disusul ibunya.
“kita besok ke tempat Ratu.”
Ageng tersenyum, dirinya sukses membuat orangtuanya percaya, dia mampu memberikan hiburan terbaik untuk Ratu.
Pagi hari ayah ibu dan ageng berangkat menuju singgasana sang Ratu.
Baru kali itulah, Ageng merasakan perjalanan jauh. Kakinya sudah tidak keruan rasanya. Namun hatinya yang berdegub kencang, membuat ia lupa kalau kakinya sedang berontak ingin berhenti. Setelah keluar dari hutan yang penuh dengan pepohonan, akhirnya Ageng melihat rumah lain yang mirip dengan rumahnya, hanya saja rumah ini ada banyak. Seperti bintang yang ia lihat setiap malam, yang memiliki kawan. Ia juga melihat banyak manusia yang seperti dirinya, ayahnya maupun ibunya. Ia terpana.

Sejenak ayahnya mengajak ia dan ibunya mencari tempat berteduh untuk sekadar minum dan sedikit makan mengisi tenaga. Riuh suara yang tidak pernah Ageng dengar, mulai menggelitik kehampaannya selama ini. Dalam hatinya ia berjanji akan melakukan yang terbaik. Jika ia berhasil membuat hiburan terbaik untuk ratu pastilah Ratu mengijinkan ia dan keluarganya tinggal di kerajaan. Tak di hutan lagi yang sepi.

Sesampainya, kondisi kerajaan dipenuhi penduduk yang ingin menunjukkan hiburan kepada Ratu.
Banyak sekali yang membawa hadiah untuk Ratu. Dan masih ada yang sedang menunjukkan eksistensinya di depan Ratu. Ada yang menyanyikan lagu untuk Ratu. Ada yang sekadar ingin bersalaman. Ada yang berteriak mengucapkan ulangtaun. Ageng merasa kesulitan untuk ikut berdesakan. Beruntung ia bersama ayahnya, ayahnya menjaga dia dan ibunya dengan baik. Akhirnya ageng bisa ikut mengantri di tempat antrian pertunjukkan hiburan. Ia terpisah dengan ayah ibunya, karena ia akan menari sendiri nanti. Ayah ibunya akan mencari tempat untuk menonton dari dekat.

Ageng merasa sangat grogi. Hingga tiba ia diujung baris terdepan menuju panggung di hadapan ratu. Tiba di panggung, ia memberikan salam senyuman manisnya.
Ratu dengan keramahannya meminta Ageng untuk memperlihatkan bakatnya tersebut. Ageng mengiyakan dan memulai memejamkan mata, ia mencoba menghadirkan bintang-bintang di dalam fikirannya. Memulai menghitung satu demi satu kelipannya. Dan memulai gerakan seperti biasa ia lakukan.

Ia berharap, kehampaan dan kesepian yang sudah ia rasakan bertahun-tahun mampu menggugah setiap hati dengan gerakannya. Ia hanya ingin menyampaikan apa yang dirasakan selama ini. Dan semua itu ia bisa melepasnya. Ia mulai merasakan keberadaan ayah dan ibunya yang sedang menontonnya, mulai ikut menikmati gerakannya yang bersenandung dengan alam sekitar. Ratu yang sedari tadi hanya menatap kosong setiap para penampil, kali ini ikut merasakan kehampaan itu. Ratu pun berdiri menatap Ageng.
Ageng berhasil.

Sang Ratu merasa puas. Dan Ageng naik tahta sebagai pegawai kerajaan. Sang Ratu pun tak segan menitahkan supaya Ageng bisa melatih anak anak bangsawan. Ageng pun merasa senang dan merasa sangat bahagia. Kehampaannya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Setidaknya ia tak menyesal pernah tinggal di hutan yang gelap dan sepi itu. Nyatanya ia mampu, ia memiliki bakat yang bahkan Ratu pun suka.

-milik_naru, 6/3/2019-


Minggu, 03 Maret 2019


Jagoan

 Hasil gambar untuk deku

Di desa kecil di pinggir hutan, tinggalah seorang laki-laki yang tinggal bersama Bundanya. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah ia lahir.
Kuron namanya. Anak yang patuh dan rajin bekerja, karena mau tidak mau ia telah menjadi punggung menggantikan ayahnya. Ia harus menghidupi dirinya dan juga sang bunda.
Sedari kecil, ia bekerja di ladang milik tetangganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Merawat ladang penuh ketekunan meski bukan miliknya. Begitulah ajaran Bunda yang selalu ia tanam. Hingga besar ia sudah biasa melakukan banyak pekerjaan. Mecangkul, menanam, memilah milih saat panen tiba. Pemilik ladang sangat senang memiliki pekerja seperti Kuron.
Kuron memang pekerja rajin yang sering dituai pujian. Namun, sebenarnya ia menggenggam kelam masa kecil yang masih ia rasakan.

Anak dari tetangga yang sebaya dengannya, Supri. Entah kenapa Supri sangat tidak menyukai Kuron. Supri adalah anak juragan kaya raya di desanya. Memiliki teman setia yang juga menjadi anak buahnya. Seringkali Supri sengaja pulang dari sekolah melewati rute ladang dengan teman-temannya, hanya untuk memamerkan nilai sekolahnya yang dapat 90 atau bahkan 100. Dan juga memperlihatkan kakinya yang menggunakan sepatu baru atau mengibaskan badannya yang sedang memanggul tas baru atau mengenakan baju sekolah yang sangat menyilaukan mata seorang anak yatim yang malang ini.

Tak disangkal, Kuron terbesit iri yang besar di dalam hati. Namun apalah dayanya, semua pembalasan ke Supri adalah bumerang untuknya. Percuma ia hanya lelah bicara dan diujungnya hanyalah berakhir merah dipunggungnya, bekas sabetan kayu. Sejak itu, ia hanya bisa menggenggam tanah tanpa pernah lagi sampai ke muka musuhnya.

Sang Bunda pun sering menasihatinya,"Nak, ayahmu itu jagoan. Kamu mirip dengannya."
"Tetapi Jagoan itu bukan yang pandai berkelahi. Tetapi jagoan itu yang pandai menjaga diri."
"Ayahmu di waktu muda, selalu bisa menjadi andalan. Itulah jagoan sejati."
"Dan kamu sudah menjadi andalan Bunda. Kamu sadar? Dan kelak ketika Bunda tiada, Bunda saja bisa mengandalkanmu sewaktu kamu kecil begini apalagi orang lain. Kamu akan menjadi jagoan dunia."
Kuron kecil tidak mengerti setiap kata Bundanya. Namun Bunda selalu mengatakan itu setiap malam hingga Kuron sangat hafal kalimatnya. Kata Jagoan sudah sangat terekam di bawah alam sadarnya, kelak ia bersungguh-sungguh untuk menjadi jagoan dunia.

Masa demi masa membuat Kuron bisa terbiasa. Ia sudah tidak peduli lagi pada orang orang yang menghina atau membuatnya iri. Yang penting ia bisa menghidupi Bundanya dulu. Menjadi jagoan versi Bundanya. Hingga tiba saat ia sudah menginjak dewasa, Bunda akhirnya meninggalkan ia. Kuron hidup sebatang kara.
Bundanya tidak meninggalkan harta kemewahan layaknya tetangga sekitar, tetapi Kuron merasa Bundanya telah memberikan sesuatu yang berharga. Setiap perkataan dan pekerjaan yang ditanamkan pada Kuron membuat Kuron memberanikan diri keluar desa. Ia ingin mewujudkan menjadi jagoan, bukan lagi versi jagoannya sang Bunda tetapi versi yang lebih besar, Jagoan dunia.

Ia pamit kepada juragan yang biasa ia urus ladangnya. Juragan sangat kehilangan dan menawarkan berbagai kemewahan, namun Kuron tidak merasa puas sebelum mewujudkan nasihat bundanya.
Kuron yang sudah biasa bekerjakeras, mustahil dunia luar menolaknya.

Dia memulai dari pekerjaan bawah, apapun ia lakukan. Saat ia tiba di metropolitan ia mulai dengan kesungguhan besar. Dari sesuatu yang kecil menjadi pekerja buruh ia lakukan semua dengan sungguh sungguh. Dan Kuron adalah seorang yang bisa mempelajari dengan cepat. Sama seperti waktu ia kecil, ia selalu menuai pujian setiap hasil kerjanya.
Hingga akhirnya kerja kerasnya dibayar tuntas. Pekerjaan dengan level tiada batas yang serba bisa akhirnya ia mendapat kepercayaan dari seorang investor kebun. Ia diberikan kebun cuma cuma untuk dikelola langsung dibawah pengawasannya. Ia tidak lagi hanya menanam sepetak tanah namun ia juga mengurus pekerja lain.

Bertahun tahun ia merintis. Ia sudah seperti juragan bahkan mungkin sudah lebih dari itu. Ia mampu mengobrak penjualan tanaman ke segala penjuru. Dan stok penjualan pun selalu terjual habis. Kini ia memulai mewujudkan cita cita bundanya. Ia akhirnya mendirikan sekolah di berbagai pelosok desa dengan gratis. Ia merasa sangat beruntung bahwa meski ia tak sekolah namun ia bisa membalas dengan pembalasan yang setimpal, ia mampu menyekolahkan. Kuron sangat berharap inilah yang diharapkan bundanya. Ia menjadi jagoan. Jagoan dunia. Membantu banyak orang-orang. Bayangkan dulu ia lebih membalas dengan dendam ia takkan bisa seperti ini.

Sedangkan keadaan Sapri. Ia lebih suka berleha leha. Memanfaatkan  usaha milik ayahnya tanpa pernah memilki pengalaman mengelolanya. Sayang seribu sayang semenjak ia ditinggal ayahnya yang sudah tidak bisa lagi mengurusi kebun, diambil alih oleh Sapri yang sama sekali tak ada kemampuan. Memang ia punya nilai di kertas tapi nilai di dalam hati itulah yang lebih tergunakan.


-milik_naru, 4/3/2019-

Minggu, 24 Februari 2019

Putri dan Ranting


Hasil gambar untuk putri malu


Namanya Putri Malu. Sebut saja begitu. Putri mengagumi seseorang. Namanya Ranting. Sebut saja begitu. Putri mengenalnya, begitu juga Ranting. Mereka satu sekolah.

Di sela istirahat, Putri bertemu dengan Ranting, di kantin. Saat Putri mau membayar makanan, Ranting sigap membayarkan makanan Putri. Tanpa ijin kepada Putri, Ranting menyodorkan uang ke penjual. Putri tidak bisa berfikir sesaat, ia merasa terbang, lalu terkatup disentuh kisah ini. Putri berusaha biasa saja. Padahal hatinya sudah lebur. Ranting memang baik. Tetapi baiknya Ranting bagi Putri adalah sesuatu.

Mungkin bagi orang hal ini biasa saja. Namun bagi Putri yang mengagumi Ranting, ini hal yang luar biasa membuatnya gugup. Putri berusaha menutupi kegugupannya dengan diam. Karena Putri tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Lalu mereka makan bersama. Tidak banyak kata. Hanya bicara seperlunya. Banyak memfokuskan ke makanan masing-masing. Putri merasa hanya dengan Ranting, ia jadi sangat diam. Bisa bersama Ranting, Putri merasa sangat senang. Putri tahu apa yang dirasakannya. Rasa bahagia muncul hanya sekadar memperhatikan seseorang yang diakaguminya. Namun sayang sekali, Putri tidak bisa memanfaatkan keadaan, ia banyak diam tidak berkutik, mungkin jam dinding pun menertawakannya. Putri malu. Jadi dia tak bisa bicara banyak. Kemungkinan Ranting jenuh, pikir Putri.

Semakin hari Putri jadi semakin sering melihat Ranting. Bukan kebetulan, hanya Putrinya saja terlalu memperhatikan. Setiap sudut yang ia cari hanya Ranting. Keberadaan lain seperti terasingkan. Hanya sebab itu Putri merasa sering melihat Ranting dibandingkan yang lain. Putri tidak sadar, bahwa alam sadarnya mungkin sudah dipenuhi Ranting.

Putri semakin ingin tahu. Namun Putri juga menjadi semakin ingin menjauh. Putri terlalu malu mendekat. Putri menjadi semakin tidak mampu berkata kalau ada Ranting. Beruntung Ranting baik. Setidaknya Ranting dekat dengan teman-teman Putri. Putri jadi masih bisa melihatnya meskipun Putri hanya menjadi pemeran pembantu.

Semakin lama, Ranting semakin baik. Ranting jadi lebih sering menyapa Putri. Putri selalu merasa tersentuh. Semakin ia tersentuh semakin ia menutup dirinya. Putri jadi lebih tidak bisa berkutik lagi.
Hari-hari sekolah Putri hadapi dengan kasmarannya pada Ranting. Meski ia menjadi tak berani, tetapi ia menikmati. Yang terpenting bagi Putri, ia masih bisa melihat Ranting. Tahu keberadaan Ranting dimana, sedang apa, dan selalu memantau apapun berita tentang Ranting. Putri menjadi semangat ke sekolah. Ia selalu menjaga Ranting dari pengamatannya. Begitulah Putri menjalani kisahnya di sekolah.

Hingga tahun ajaran baru dimulai kembali. Putri berangkat pagi sekali, bersemangat menemui sekolahnya. Sebenarnya bersemangat untuk bertemu kembali dengan Ranting. Dan doa Putri terkabul, tahun ajaran baru ini orang yang pertama kali ia temui adalah sosok yang dikaguminya itu. Putri berpapasan lagi dengan Ranting, setelah beberapa minggu tidak bertemu. Ranting menggendong tasnya, dengan tangannya memanggul sebuah amplop. Tetapi ada yang berbeda, Ranting mengenakan pakaian bebas. Terpampang tanda tanya yang besar di benak Putri.

“eh Put.. Hai.”, sapa Ranting.
“hai, kok pake baju bebas gitu?” Putri terlalu penasaran jika tidak bertanya, dan membuat dia kelepasan bertanya.
“Ah, saya mau pindah sekolah. Ini amplop berkas pengurusan pindahan. Ketinggalan jadi saya ambil pagi-pagi gini.” Ranting tersenyum sedih menatap Putri. Putri tidak tahu lagi harus berkata apa, jantungnya terlalu berdegub.
Putri langsung cepat bertanya lirih,”Mau kemana?”
Ranting menelan ludah, menarik nafas,” Ke luar negeri.”
“Ahh, wow” Putri menahan sesak didadanya.
“saya buru-buru Put, saya harus mengejar pesawat.”
“harus hari ini?”
“Iya. Maaf ya. Salam buat yang lain. Saya kan belum sempat pamit ke yang lain.”
Putri mengangguk. Masih menahan sesak. Berusaha untuk tidak menangis.

“Jangan kangen ya.” Ranting menepuk pundak Putri. Kata-kata perpisahan itu membuat Putri tersentuh lagi. Lagi-lagi ia menjadi tidak berkutik. Putri Malu mengatup. “Hahahaa.” Putri hanya bisa membalas tawa meledek ke  Ranting. Akankah Ranting bisa tahu apa yang dirasakan sebenarnya. Ranting melambaikan tangan ke Putri, Putri pun membalasnya sambil tersenyum. 
"Jangan lupa balik lagi." teriak serak Putri untuk yang terakhir kalinya.
"Pasti." Ranting mengacungkan jempolnya, bergegas keluar gerbang sekolah.
Banyak sekali yang ingin Putri sampaikan, sangat banyak. Jantung yang tidak mau tenang membuat kata-kata tidak mampu terucapkan. 

Ia menatap punggung Ranting. Bumi yang bulat membuat Ranting semakin tidak terlihat. Putri tidak menangis. Entah nanti di kamar.

-milik_naru, 24/2/2019-


Selasa, 19 Februari 2019

Bapak


Dari mana aku ingin memulai agar semua bisa tahu kalau ada seorang yang sangat baik di dalam hidupku. Sejak kecil, ia mengajariku secara tidak langsung. Sebab ia mengajari dalam diamnya kata tetapi banyak kerja. Tentunya perlakuan bapak itu penuh kasih sayang. 

Yang kuingat, saat aku masih SD, tubuhku masih mungil, saat jam sudah menunjukkan pukul enam tetapi aku masih tidur, Padahal aku harus ke sekolah, bapak yang membangunkanku. Bukan dengan teriakan, bukan dengan siraman air. Tetapi dengan pijetan. Bapak biasanya mijetin tubuh ini. Aku yang dengan malas membuka mata dan dengan berat sekali untuk duduk membangunkan diri dari tidur nyenyak. Disitupun bapak masih menungguku untuk seratuspersen bangun. Lalu bapak menawarkan punggung nya untuk menggendongku sampai ke kamar mandi. Bapak selalu siap sedia dan tidak pernah absen untuk mengantarku ke sekolah.

Bapak itu orang yang pertama kali bangun di pagi hari. Biasanya ia langsung pergi ke musola untuk adzan. Sepulang solat dari sana, ia akan masak air. Mencuci piring sisa semalam. Lalu membuatkan minuman pagi untuk keluarga. Baru ibu bangun untuk masak pagi.
Begitu terus sampai sekarang pun masih begitu. Teh hangat pagi selalu buatan bapak tidak pernah absen. :) (merantau itu rindunya banyak)

Bapak tidak pernah marah. Sama sekali. Aku menghilangkan uangnya pun bapak hanya mengeluh, lalu berkata "oh yasudah lain kali itu ya hati-hati to". Padahal itu limapuluh ribu, angka yang lumayan besar sewaktu aku kecil.
Bapak yang selalu siap mengantarku kemana mana. Bapak yang selalu siaga kalau aku sakit. Bapak yang tidak kenal lelah sekalipun aku minta jalan jalan sore padahal bapak baru pulang kerja.
Begitu juga saat aku punya tugas mencari bambu untuk kegiatan pramuka, bapak baru pulang jam lima sore tetapi langsung cekatan pergi ke belakang untuk mencarinya. Tidak ada pahlawan lain yang berjasa dalam hidupku selain bapak.

Aku ingat juga saat aku sakit dan dioperasi, Saat aku tidak bisa banyak bergerak. Bapak yang paling sabar. Bahkan bapak yang membantuku buang air, membersihkan diriku. Aku ingat pak. Biar kutulis ini untuk membuatku ingat akan kebaikanmu yang pasti tidak bisa kubalas penuh ketulusanmu. Bapak yang paling sabar sedunia. Semoga saat bapak tua, saat aku yang berganti merawat bapak, aku bisa sesabar bapak. 

Bapak yang malamnya sering kuganggu padahal lagi mengerjakan tugas kantornya. Entah ada lelah atau tidak aku tidak menyadarinya. Pernah aku meminta mengerjakan tugas menggambar padahal bapak pun punya tugas kantor. Tetapi bapak gak pernah nolak sekalipun jika anaknya meminta.
Bapak pun teman seruku, apalagi saat ada pertandingan badminton di televisi. Cinta nonton badminton dari jaman taufik hidayat vs lindan. Bapak selalu bilang,:itu yang melatih bapak. Aku selalu mengiyakannya saja. Atau kita nonton bola piala dunia tengah malam. Ibu sampai menyiapkan kacang untuk begadang. Atau juga menonton moto gp. Tentunya milih rosy, lagi lagi bapak selalu bilang, "rosy itu yang melatih bapak".
Jaman sama bapak itu selalu menyenangkan. Meskipun bapak banyak diamnya. Tapi bapak gak kalah perhatian.
Diri ini tidak mungkin bisa membalas itu semua bukan? 

Bapak yang paling sayang keluarganya. Bapak yang selalu ada dan sigap. Meskipun  banyak orang yang bilang bapak pendiam dan meremehkan bapak tetapi aku adalah orang yang beruntung bisa jadi anak bapak. Semoga Allah selalu memberikan kasih sayang Nya ke bapak. Selalu. Karena bapak selalu sayang sama keluarganya.

-milik_naru, 20/2/19-